Minggu, 03 Mei 2015

Becik Ketitik Ala Ketara




                Arti kata per kata dari ungkapan ini adalah: becik (kebaikan), ketitik (ketahuan), ala (kejelekan), dan ketara (terlihat atau tampak). Ungkapan becik ketitik ala ketara (kebaikan akan ketahuan, keburukan akan tampak) sangat populer dalam kehidupan masyarakat jawa. Kepopuleran ini membuktikan bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya di anut dan berjalan secara fungsional, serta memberi manfaat bagi kehidupan masyarakat jawa. Ungkapan ini lazim di pakai sebagai peredam konflik sosial, apa pun sumber kasusnya.
                Dalam suatu kasus atau konflik, tidak selamanya dapat di ungkapkan bukti-bukti yang dapat mendukung diperolehnya kebenaran. Bahkan ada kalanya seseorang yang terlibat dalam konflik tida bersedia menyatakan hal yang sebenarnya, hal yang seseuai dengan kenyataan. Seseorang sebenarnya lebih baik menyelesaikan konflik tanpa harus memperpanjang permasalahan. Namun, dalam konteks penyelesaian konflik, sangat mungkin ada pihak yang kecewa atas sikap pihak lain. Bahkan, masing-masing pihak seringkali bersikukuh pada pendiriannya dan saling mengaku bahwa pihaknya yang benar dan pihak lain yang salah. Di dalam kondisi rebut bener (berebut kebenaran) antara dua pihak tersebut, orang jawa menerimanya dengan keyakinan becik ketitik ala ketara. Umumnya, pihak yang berani mengucapkan becik ketitik ala ketara adalah pihak yang meyakini bahwa dirinya tidak melakukan kesalahan. Dengan demikian, becik ketitik ala ketara (kebaikan akan diketahui, keburukan akan tampak) sebagai alternatif penyelesaian konflik jika penyelesaian normatif menemui jalan buntu (mentok).
                Pertanyaan yang muncul adalah apa yang melatari sikap orang jawa dalam meyakini kebenaran becik ketitik ala ketara?. Budaya jawa tidak dapat dilepaskan dari sikap hidup orang jawa, baik sikap hidup yang berkaitan dengan kehidupan sosial (hubungan dengan orang lain) maupun sikap hidup yang berkaitan dengan nilai religius atau ajaran ketuhanan. Pertama, seperti dinyatakan di atas, seorang akan bersikap “menerima” pemecahan konflik tanpa bermaksud memperpanjang persoalan, utamanya jika konflik itu melibatkan orang-orang yang sebelumnya memiliki hubungan bak. Akan tetapi, “penerimaan” itu sebenarnya bersifat tentatif (sementara) karena dirinya tetap menghendaki agar kebenaran atau kesalahan itu akan terungkap (walaupun tanpa melalui proses hukum normatif).
                Kedua, penerimaan dengan meyakini becik ketitik ala ketara tidak terpisah dari pandangan hidup orang jawa yang sangat kental dengan nilai religius. Orang jawa meyakini bahwa Gusti ora sare (Tuhan tidak tidur), dan karenanya Tuhan melihat segala pikiran dan tindakan semua orang. Orang jawa sangat yakin bahwa Tuhan akan memberi keadilan yang seadil-adilnya terhadap kesalahan umat-Nya.
                Dengan demikian, penerimaan fase pertama ini dikatakan masih bersifat sementara. Mengapa? Ini lantaran orang jawa masih mengharapkan bahwa kesalahan dan kebaikan itu nantinya terbuktikan, dan Tuhan-lah yang akan memberi bukti-bukti itu walaupun tidak harus melalui proses hukum normatif. Lalu apa bentuk konkrit dari bukti-bukti tersebut? Biasanya masyarakat jawa meyakini bahwa Tuhan akan membalas kesalahan seseorang, misalnya menimpakan penderitaan atau kejadian menyedihkan pada sang pelaku atau keluarganya, seperti sakit berkepanjangan, kehilangan harta benda, kegelisahan, kehilangan kehormatan, dipermalukan secara umum, dicabut derajat atau amanah yang diberikan kepadanya, dan sebagainya. Bentuk-bentuk penderitaan itu di pandang sebagai bukti bahwa si pelaku adalah pihak yang salah. Seseorang yang terlibat konflik akan di pandang sebagai pihak yang benar jika setelah perselisihan ia tidak mengalami nasib buruk, atau tertimpa musibah.
                Satu hal yang perlu dicermati adalah perlunya kesadaran bahwa suatu keburukan, bagaimanapun dan apapun jenisnya, tidak bisa disembunyikan. Jika semasa hidupnya hal itu bisa disembunyikan, nantinya hal itu tetap akan terungkap setelah orang tersebut di akhirat, bahkan pada hari pengadilan di hadapan Tuhan. Dengan demikian, yang terpenting adalah menjadikan ungkapan becik ketitik ala ketara sebagai kendali moral bagi siapapun agar dirinya terhidar dari perilaku jahat atau keburukan: jangan sampai seseorang memiliki niat dan perbuatan ala (buruk). Mengapa? Karena keburukan itu akan kembali pada dirinya sendiri (dan keluarganya), baik ketika masih hidup di dunia ataupun nanti di akhirat. Jadi, sebaik-baik sikap adalah menempatkan ungkapan becik ketitik ala ketara sebagai ajaran untuk mengendalikan hati, pikiran, dan tindakan agar diri kita jauh dari laku ala (tindakan buruk), dan bukan menempatkannya sebagai bentuk pernyataan vonis atas kesalahan orang lain.

Ahmad Ariefuddin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar