Ungkapan
Gusti ora sare terdiri dari tiga kata: Gusti (Tuhan), ora (tidak) dan sare
(tiduk). Ungkapan ini memiliki arti mendalam dan sangat kaya makna. Dahulu,
orang jawa sering memberi nasihat bahwa ketika menginginkan sesuatu, bermohonlah
kepada Gusti Allah (Tuhan); ketika memiliki tugas, pekerjaan, atau keinginan,
kita disarankan untuk memohon kepada Gusti Allah (dalam Bahasa Jawa juga
disebut pangeran [Tuhan]) dengan ungkapan, “Nyuwuna marang Gusti Allah, percaya
Gusti Allah ora sare.” (Memohonlah kepada Tuhan, percayalah bahwa Tuhan tidak
tidur).
Karena
Tuhan memiliki sifat Maha Mengetahui, Maha Memberi, dan memiliki sifat tidak
tidur, maka orang Jawa meyakini bahwa pengaduan atau permohonan kepada-Nya akan
selalu di dengar dan karenya akan mendapat pertolongan serta jalan keluar
dari-Nya. Oleh sebab itu,orang-orang tua sering berpesan agar dalam menjalani
hidup, baik ketika menhadapi penderitaan ataupun memperoleh kebahagiaan, ora
kendhat nyenyuwun marang pangeran (tidak berhenti untuk memohon kepada Tuhan).
Di
samping itu ungkapan Gusti ora sare (Tuhan tidak tidur) memiliki nuansa
persuasif agar seseorang selalu berhati-hati sebelum berbuat. Ia perlu
memikirkan apakah tindakan yang akan dilakukannya berpengaruh abik atau buruk,
baik terhadap dirinya maupun orang lain. Bahkan, seseorang perlu berpikir
cermat sebelum bertindak: apakah rencana
yang akan dilakukannya menyalahi aturan Tuhan (ajaran agama), apakah
tindakannya termasuk halal atau haram, baik atau buruk, haq atau bathil.
Selanjutnya,
ungkapan Jawa itu berhubungan dengan keyakinan bahwa apapun tindakan kita
haruslah ditujukan untuk memenuhi kewajiban kita sebagai umat ciptaan Tuhan,
baik tindakan yang bersifat individual, sosial, maupun relijius. Kita tidak
lagi sepenuhnya mengharapkan ukuran baik-buruk atas dasar segi fisik belaka,
melainkan juga dari segi norma-norma keTuhanan. Oleh karenya, seseorang tidak
perlu terjebak pada sikap apakah tindakannya mendapat penghargaan atau
pangalembahan (sanjungan) dari orang lain. Semua itu hendaknya diserahkan
kepada kebesaran dan kebijakan Tuhan. Tindakan kita bisa jadi tidak disenangi
oleh orang lain, padahal tindakan itu sesungguhnya memang harus kita lakukan.
Jika tidak sudah meyakini bahwa Gusti ora sare, maka kita seharusnya semakin
takut untuk berbuat hal-hal yang menyimpang dari norma-norma kebaikan, ataupun
untuk nalisir saka bebener (menyimpang dari kebenaran).